Panggil saja aku Senja. Aku lahir di sebuah hujan gelap. Suatu kelahiran yang aneh, karena cakrawala tidak berwarna jingga seperti yang seharusnya ketika sebuah senja menjadi pengantar nyanyian malaikat menjelang malam. Bahkan mungkin nama Senja itu asal saja keluar dari mulut ibuku saat dia mengerang kesakitan dan kesal dengan bapakku yang menghiburnya agar tetap sabar .Mungkin benar , saat aku lahir adalah saat dimana epilog termanis dari sebuah hari atau bahkan sebaliknya, saat dimana semua kegelapan berkumpul untuk berpora dalam sebuah malam tanpa suara.
Dan akhirnya aku harus memilih antara terang dan gelap, aku tidak bisa ditengah2 dengan bernama Senja. Akhirnya akupun memilih kegelapan dan Akupun mulai mencintai malam dengan catatan-catatan yang kurobek di pinggirnya. Malam menasbihkan pertanyaan2 yg tak pernah terjawab tentang sejuta matahari pada sebuah senja. Aku pun akhirnya melahirkan sebuah malam, dimana ada di aliran darahku tentang semua kegilaan pada hidup menjadi sesuatu yang absurd untuk dipertanyakan. Malam membuatku lega karena aku tidak harus selalu bersaing dengan bayangan2ku sendiri yang selama ini aku selalu dibuat bingung olehnya dengan pertanyaan2 “ yang mana lebih dulu , aku atau bayanganku?”. Seperti kisah Peterpan, akupun akhirnya melompat dari bayanganku dan berlari menjauh darinya dan kulontarkan ejekan padanya “ hey lihat, kamu tidak akan pernah lagi memenjarakanku dalam kebodohan bernama kegelapan”. Tapi kadang akupun rindu terhadap bayanganku sendiri, jadi sering kali kurobek2 malam agar aku bisa mengintip sedikit saja sinar matahari agar diapun memberi sedikit bayanganku kembali.Biasanya aku pun terus menyesal karena bayanganku selalu akhirnya menjadi manja untuk selalu aku dekap dan menyesakkan nafasku. Akhirnya, aku putuskan aku kembali menjadi Senja, karena di cakrawala bernama jingga itu adalah satu2nya kompromi yang bisa aku lakukan antara berpesta dalam gelapku ataupun berdamai dalam terangku. Dan bayanganku pun menjadi samar dan menghilang…