Pagi ini seorang kawan lama sesama pendaki mengabarkan bahwa Mbah Marijan si Penjaga Merapi itu wafat. Berbagai reaksi bermunculan. Salah satunya ada pihak yang mengatakan bahwa Mbah Marijan sangat menyepelekan ilmu pengetahuan yang jelas2 sudah member tahu ttg bahaya Merapi. Ingatan ttg beliau tiba2 berhamburan. Saya ingat dulu beliau selalu menemani malam minggu ketika bersama sahabat2 saya dengan gaya sok jagoan jadi pendaki gunung itu ( gaya sok jagoan kami adalah mengikuti gaya beliau yang memakai sarung dan membawa sebotol air minum saja). HIngga pada satu sore di sebuah senja yang jatuh dengan secangkir kopi dan ketawanya yang khas kami sempat bercakap tentang Merapi.
Sebenarnya orang Jawa itu tidak mengenal konsep Tuhan dalam arti pemahaman agama2 Samawi yang notabene sebenarnya ‘impor’ bagi kultur Jawa. Pulau yang begitu subur dengan bermacam2 gunung tentu saja selalu melimpahi rakyatnya dengan berbagai kemakmuran, karena Tuhan adalah apa yang begitu ‘dekat’ dengan mereka maka Alam Semesta itu lah sebenarnya yang mereka sebut Tuhan. Tentu saja setelah berbagai kultur dari India dengan Hinduism dan Budhanya, Arab dengan Yahudi, Kristen dan Islamnya mau tidak mau mereka harus mengkongkritkan pemahaman Tuhan ke dalam bentuk yang lebih kongkrit. Dan hirarki tertinggi mereka tentu saja adalah para Raja2 Jawa. Itu sebabnya jika Anda masih memiliki nenek2 atau kakek2 suku Jawa, cara mereka memanggil Tuhan adalah dengan sebutan “Gusti Allah” bahkan ada yang menyebutnya “Gusti Pangeran” masih banyak yang menyebut. Konsep ‘Gusti’ inilah sebenarnya adalah cara mereka berusaha keras bahwa konsep abstrak mereka ttg Tuhan bisa terwujud dalam bentuk ‘Gusti” ( panggilan untuk raja). Banyak doa2 jawa menyebut “ Duh Gusti Pangeran yang maha Agung …..” . karena itu tak heran bahwa Raja adalah manifestasi tertinggi mereka untuk loyalitas. Apapun titah raja itu adalah bentuk ‘perintah’ dari Kekuatan Terbesar alam Semesta. Ketika mbah Marijan dititahkan Raja Jawa untuk menjaga Merapi, itu bagaikan Musa di gurun Sinai yang mendengar langsung Tuhan dan memberi 10 perintah keilahiannya. Sesuatu yang harus secara total dan penuh di jalani apapun resikonya. Persepektif keimanan dan ketaatan inilah yang sulit sekali sebenarnya di jelaskan dengan akal sehat di alam modern ini. Seperti halnya para kelompok2 garis geras yang mengatasnamakan agama tertentu yang terus melakukan tindakan anarkis, bagi mereka itu adalah masalah keyakinan dan keimanan mereka. Demikian pula dengan Mbah Marijan. Bagi beliau, meninggal dalam menjalankan perintah “Gusti Pangeran” yang disampaikan Hamengkubowono adalah jihad dan beliau menjalaninya dengan penuh cinta dan pengabdian yang penuh. Jadi bukan karena dia melecehkan ilmu pengetahuan atau bertindak bodoh. Beliau dengan amat sadar sekali dengan semua resiko itu. Sepert halnya para pelaku bom bunuh diri di negeri ini. Apapun agama di dunia ini selalu mengenal konsep ‘pengorbanan’, Islam dengan perintah menyembelih Ismailnya, Kristen dengan Penyaliban Yesus, Hindu dengan pembakaran api sucinya dll. Apakah itu kebodohan? Tentu saja buat penganut paham logika akan mengatakan ya tetapi dalam persepektif keimanan itu adalah bentuk kesetiaan keCintaan manusia terhadap Tuhan dan melalui ‘pengorbanan’ itu pula diharapkan akan terjadi keseimbangan buat umat manusia dan tentu saja alam ini sendiri. Bisa jadi itu yang ada di dalam benak Mbah Marijan saat semua akal sehat mengatakan betapa bodohnya dia tidak mau meninggalkan KInahrejo. Desa itu adalah hidupnya, cintanya. Kematian buat seorang Mbah Marijan bukanlah hal yang menakutkan. Karena kematian justru bentuk manifestasi tertingginya bersatu bersama Alam yang sangat amat mencintai dan dicintainya. Rumah yang sebenarnya buat beliau justru sudah ditempatinya. Alam ini sendiri. Siapa bilang dia tidak bahagia ? justru saya pribadi sangat “iri” bahwa dia menjalani kematian dengan penuh Cinta dan dengan kesadaran penuh untuk pulang ke Tuhannya : Alam Semesta.
…
Sampai ketemu lagi Mbah…kita akan ketemu lagi ditempat dahulu kita mulai…
Ingatan sebuah pendakian yang terlupakan bersama : Tofa, Cieng, Jojon, Weni, Nanang, Yuyun,Bavo, Farida.
2 comments
tandewi says:
Oct 27, 2010
bener banget bude, kadang kala ga semuanya bisa diukur melalui logika dan ilmu pengetahuan.
mysearu says:
Oct 27, 2010
ketika Mbah Maridjan dianggap setia pada titah raja, mengapa dia mengabaikan peringatan dari Sri Sultan dan bersikukuh tidak mau turun?