Jakarta buatku adalah kematian. Meskipun gelegar gemerlapnya mampu menyihir siapapun yang datang ke kota ini untuk berdentam bersama silaunya, tapi buatku kota ini adalah geliat roh yang menyayat keluar,begitu pelan tapi pasti merajah pada nadi-nadiku yang detaknya makin menipis setiap kali aku memikirkan kepulanganku ke kota ini. Ruang-ruang kota yang penuh dengan kenangan yang bertebaran seperti lalat-lalat di musim penghujan. Kesedihan yang berlendir dan pekat setiap kali mengingat betapa banyak harapan sering berakhir dengan kesia-siaan.
“Kamu pulang?”
Laki-laki itu adalah penyihir. Karena apapun yang keluar dari dia entah itu berupa teks maupun kata-kata selalu mampu meluluhlantakkan akal sehatku. Kami bertemu saat kami dulu aktif di kampus. Dia begitu berkilau. Orasi-orasinya selalu mampu membuat gadis ingusan sepertiku meleleh dengan cahaya yang berpendar dari otaknya. Aku selalu memilih tempat di pojok paling belakang kerumunan massa saat melihatnya berorasi di depan mahasiswa yang berdemo, tempat dimana merupakan kerajaan kecilku karena aku bisa menjadikan dia seperti apapun yang aku inginkan karena aku adalah Tuhan bagi pikiranku, karena aku bisa menjadikan Raymond apa saja semau-mauku. Dulu, waktu aku kecil, ibuku selalu bilang bahwa ketika kita memiliki cinta maka kita akan menjelma menjadi Tuhan karena kekuatan cinta itu seperti menggerakan jagad raya ini sesuai dengan hati kita. Ibuku sangat amat benar, cintaku pada Raymond di senja pertama kami bertemu mampu menggerakan segalanya. Benar, sebuah senja yang oranye saat dia pertama kali menyebutkan namanya saat secara tidak sengaja motornya menyerempetku di depan kampus. Saat itu, jantungku seperti derap serombongan badak yang lari ketakutan karena tembakan pemburu pengambil cula mereka. Aku jatuh cinta padanya. Saat itu hujan seperti meruah begitu saja, berdentam tanpa permisi mengguyur bumi .Kebahagiaan senja begitu aku menyebutnya dalam diam. Senja memang waktu yang sempurna. Aku pegang dadaku karena aku sangat yakin dadaku seperti mau meledak dengan detak yang hebat.
“Kamu gak apa-apa? Kenalkan Raymond”.
Sejak itu kami akan bertemu dalam diam yang begitu tersembunyi dari kepikukkan kota, bergeliat dalam peluh dan rindu yang begitu haus akan tatapan mata dan gelora yang meruah tanpa kata-kata, meski pada akhirnya setelah semua itu usai dalam hitungan jam aku akan kembali sendiri dan dia kembali pulang ke rumah kekasihnya. Seperti yang sudah-sudah, aku akan melolong sejadi-jadinya dalam kesedihan yang bercampur liat dengan kemarahan tanpa jeda. Kesepian yang begitu mengerikan menjadi seperti nafasku sendiri dan aku tidak lagi bisa tahu siapa yang lebih sedih, diriku atau sisa waktuku yang tak pernah pasti karena sejak senja dengan guratan warna malaikat itu aku tahu dia sudah punya kekasih. Kebodohan atau entah apa namanya ini dengan begitu saja aku jalani karena aku percaya Raymond mungkin salah satu sahabat jiwaku dari 12 sahabat jiwa yang kita miliki sepanjang perjalanan roh kita dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain. Aku benar-benar mencari belahan jiwaku. Nenekku bilang bahwa sebenarnya ketika roh kita diciptakan pertama kali roh itu akan membelah menjadi dua. Roh yang terbelah itu selalu lelaki dan perempuan. Mereka akan mengembara dari satu kehidupan ke kehidupan untuk saling belajar. Setelah 80 kali kehidupan merekapun akan kembali menjadi satu dan moksa sempurna. Kembali ke negeri Cahaya yang sejati.
“Mungkin tidak lebaran ini Ray…sudah mahal tiketnya”
Tentu saja aku berbohong besar. Tidak akan pernah kukatakan bahwa aku tidak akan lagi sanggup pulang ketika semua dentam kesedihan yang sudah begitu beratnya selalu menghantam rongga-rongga kewarasan otakku. Sejak dengan begitu gamblangnya dia memilih Tika sebagai kekasihnya dan aku adalah gairah tersembunyi dalam ruang gelapnya, aku memutuskan berlari.
“Kamu tidak kasihan dengan Ayahmu?”
Ayahku sudah tidak ada, begitu aku ingin menjerit sekencang-kencangnya ketika sosok bernama Ayah dihadirkan dengan begitu kurang ajarnya dalam sebaris teks. Lelaki yang dulu selalu membuatku rindu ingin pulang dalam hitungan detik menguap sejak kematian Ibu. Tidak ada lagi lelaki periang yang ketika kanak-kanakku selalu mengajak memanjat genting , dan kamipun akan selalu berlomba menghitung berapa jumlah bintang yang berkejap sambil berharap ada bintang jatuh sehingga kami akan segera buru-buru memejamkan mata agar serbuk para malaikat berpendar di hati kami.
“Lihat nak, itu gugusan Andromeda yang diambil dari nama putri dari Cepheus dan Cassiopeia ratu yang kecantikannya melebih para bidadari laut”
Demikianlah Ayah, selalu akhirnya mampu membuat mata bulatku berkejap-kejap penuh kagum pada kehebatan Ayah mendongeng yang akhirnya mampu membuatku terlelap dalam ritual menunggu bintang jatuh itu. Ayahku kemudian mencium lembut keningku dan tak lupa selalu membisikkan kata-kata yang entah meski aku terlelap sekalipun aku mampu mendengarnya
“Lily, kamu dan ibumu adalah bidadari tercantik ayah, tidurlah”
Ibuku. Rambutnya yang begitu legam dan lebat selalu menyisakan beberapa helai yang tak sempat disanggulnya. Kulit dengan warna tanahnya selalu berkilau ketika tetes keringat tanpa malu-malu sering kali meleleh diantara belahan dadanya yang ranum meski sudah berkali-kali menghidupiku dan saudara-saudaraku. Setiap pagi matahari selalu memberi kebaikan dengan menyirami rambutnya yang terurai menakjubkan karena dia membangunkanku dengan kidung-kidung yang keluar dari tenggorokannya yang jenjang, tak lama kamipun entah kenapa akan selalu melenggokkan tubuh menari bersama desir pagi yang selalu manis.
“,Mari kita menari irama bumi” begitu ajaknya setiap pagi. . Irama bumi yang membuatku mampu menerjemakhan setiap helai daun jatuh, gesekan ranting, dan setiap bunyi apapun mampu membuatku menerjemahkannya sebagai musik yang layak didengar. Musik yang membuat setiap tetes darah ini berdentam dan meliuk bersama jiwa untuk mempersembahkan sebuah tarian untuk Yang Paling Agung
Buatku ibukku selalu lebih indah dari bunga-bunga di sorga dan tariannya selalu lebih indah dari tarian para malaikat sekalipun. Dialah penari semesta sesungguhnya.
Ketika ibuku kemudian memilih menemui Maha Cahaya dibanding bertahan dengan penyakit kankernya, duniaku dan ayahku seperti berhenti . Kami seperti kertas yang begitu rapuh tertiup sebuah senja yang muram. Aku selalu menyimpan harapan ibuku tiba-tiba muncul saat malam masih beberapa jeda dari matahari yang menghilang di batas langit dan mimpi itu. Ketika ibuku tidak pernah muncul juga, aku selalu ingin menjadi gelap seperti warna malam. Ayahku pun tidak ada lagi. Lelaki yang masih tetap kupanggil Ayah itu hanyalah sesosok tulang yang makin menua dengan mata yang entah dimana setiap kali kami bertemu. Mata yang selalu menangis tanpa air mata. Mata yang menghitam dan hilang. Sejak itu aku tidak bisa pulang lagi. Karena setiap pulang. Pulang artinya mati. . Kesedihan membuatku memutuskan untuk menjalani hidupku sebagai pengembara. Aku begitu pongahnya mengumbar alam raya ini adalah rumahku, tak akan ada satupun hal di dunia ini yang bisa menahanku di satu tempat lebih dari satu bulan. Rumah yang begitu sepi yang meronta-ronta akan sunyi selalu menakutkan untuk pulang terlebih di hari Lebaran.
….
Sebuah senja jatuh. Kota ini seperti tidak asing. Warna-warna perak yang terpantul di ujung-ujung genting seperti menyisakan ingatan dari sebuah masa. Aneh. Seperti amat sangat mengenalnya, bahkan bau udara menjelang senja begitu akrab dan seperti nafasku sendiri. Hotel tempatku menginap boleh lah dikatakan lumayan meskipun sebenarnya juga jauh dari disebut nyaman. Seperti bertemu bidadari, aku langsung jatuh cinta pada kota ini. Mahoba, kota yang rupawan. Rasa yang amat menghentak tiba-tiba meruah begitu saja terhadap kota ini.
Malam seperti ucapan selamat datang yang begitu ramah. Kota yang seharusnya sangat asing menjadi seperti kampung halaman. Aku jatuh cinta pada satu hal yang entah. Raju, pemuda berbadan kecil yang sejak hari pertama menemaniku di sini berkali-kali meyakinkanku bahwa aku akan senang berada di kota ini. Muka anak itu benar-benar mirip anak pedagang kain di Pasar Baru langganan ibuku bahkan caranya menggoyangkan kepala saat dia berkata-katapun sama persis.
” We must departed very early tomorrow, although only about 1 hour but Khajuraho is very beautiful in the morning. We have to get there before the sun blazing” .
Entah sejak dari New Delhi, saat pertama jumpa, anak itu selalu menyebut candi itu ketika tahu aku ingin ke Mahoba. Keinginan yang aneh menyeruak begitu saja dan dadaku langsung berdegup saat dalam sebuah brosur yang terus terang tercetak agak murahan ditawarkan paket wisata ke sana.
“Don’t worry you will find your true love there” bak pedagang asongan profesional dia separoh mengguman sambil menawarkan secangkir chai panas lalu dia duduk di depanku. Matanya menatap tajam ke arahku. Ah, mata itu penuh harapan. Mungkin harapan aku akan memberikan tips yang lebih besar atau harapan yang entah, tapi meskipun tidak pernah ada batas yang jelas antara keinginan dan harapan, aku tetap menyukai mata anak itu. Mata anak-anaknya yang hitam pekat.
“What’s your religion? “ entah kenapa anak itu membuyarkan lamunanku.
“Islam, why?”
“Why you come here, not go home for Ied Mubarak?”
Pertanyaan tentang pulang ternyata menjadi kutukan bagiku. Haruskah? Seharusnya aku kesal dengan anak itu tapi seperti ada malaikat yang melindunginya , kekesalanku justru membuatku ingin terus bercakap dengannya.
“Why I have to go home?”
“You have parents, no matter how bad they are you must say thank you to them because they are your biggest teacher”
“How come?” aku tahu sekali suaraku mulai tersekat tetapi tentu saja anak kecil itu tidak boleh tahu.
“ You always ask and run, that’s why you are not happy. Don’t be angry go home this Ied Mubarak ”
Aku panik, anak ini benar-benar makin kuyakini reinkarnasi ibuku karena dia seperti bisa berbicara dengan rohku seperti halnya aku yakin setiap malam satu di antara bintang adalah arwah ibuku.
“Don’t be sad Miss Lily, Holding on to anger, resentment and hurt only gives you tense muscles, a headache and a sore jaw from clenching your teeth. Forgiveness gives you back the laughter and the lightness in your life.”
Air begitu deras tanpa terasa membuat pandangan mataku kabur. Seperti halilintar, kata-kata anak ini benar-benar kurang ajar tetapi aku tak kuasa untuk mengiyakan segala perkataannya. Benar, aku sangat sedih sehingga aku begitu marah. Aku tidak tahu apakah aku marah kepada ibuku yang pergi di sebuah pagi yang meratap hening atau kepada ayahku yang tidak lagi mau menyebutku bidadariku
Entah apa yang aku cari sekarang ini? Aku bahkan tidak pernah mengerti apa yang terjadi dengan diriku. Sebuah rongga yang luar biasa besar tiba-tiba menyeruak begitu saja di dalam dadaku. Aku ingin pergi entah kemana aku tidak tahu. Ada kekosongan yang amat pekat. Tapi kemanapun aku pergi , aku sebenarnya ingin pulang. Raju benar, aku begitu pengecutnya sehingga aku selalu lari. Aku pikir dengan berlari aku akan lupa tetapi bukankah ketika hati kita merekam saat maka kita akan selalu menyimpannya dalam kenangan?
Di sepanjang perjalanan itu Raju hampir tidak berhenti mencoba menunjukkan kepadaku betapa dia adalah penguasa pekerjaannya. Anak yang sebenarnya sangat menyenangkan andai dia sedikit saja mengurangi frekuensi bicaranya, tetapi aku sudah tidak lagi terfokus pada perjalanan ini. Khajuraho makin mendekat. Raju dari tadi tak henti-hentinya berceloteh tentang mitos tentang kuil itu, tapi dari tadi aku tidak mengerti mengapa seluruh sendi dan detak yang ada di hatiku seperti bergerak sendiri mengikuti satu irama musik yang datang entah darimana. Detak makin menghentak. Kupejamkan mata, kurasakan semua ini dengan sebuah kerinduan maha dahsyat . Ini musik ibuku. Hari ini untuk pertama kali sejak kematian ibuku, aku benar-benar bisa tersenyum dari hatiku. Jiwaku seperti masuk ke sebuah lorong waktu yang aku sangat tahu bagaimana ujung lorong itu. Pulang. Ayah, aku rindu.
Ubud, 3 Juli 2013
Sebuah siang dan secangkir kopi bersama Loly