WIRIT MAKLUMAT JATI
“Wedharing Ilmu Kabatosan”
Di dalam kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni kitab Primbon Atassadhur Adammakna, merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajaran Kejawen. Di dalamnya memuat ajaran-ajaran utamanya yakni Wirid Maklumat Jati di mana mencakup delapan wiridan sebagai berikut ;
1. Wirayat-Jati; ajaran yang mengungkap rahasia dan hakikatnya ilmu kasampurnan. Ilmu “pangracutan” sebagaimana yang ditempuh oleh Sinuhun Kanjeng Sultan Agung merupakan bentuk “laku” untuk menggapai ilmu kasampurnan ini.
2. Laksita-Jati; ajaran tentang langkah-langkah panglebur raga, agar supaya orang yang meninggal dunia, raganya dapat melebur ke dalam jiwa (warangka manjing curiga). Kamuksan, mokswa, atau mosca, yakni mati secara sempurna, raga hilang bersama sukma, yang lazim dilakukan para leluhur zaman dahulu merupakan wujudwarangka manjing curiga.
3. Panunggal-Jati; ajaran tentang hakikat Tuhan dan manusia mahluk ciptaanNya. Atau hakikat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Meretas hakekat ajaran tentang “manunggaling kawula lan Gusti” atau “jumbuhing kawula-Gusti”. Panunggal-Jati berbeda dengan Aji Panunggal. Aji Panunggal membeberkan ke-ada-an jati diri manusia, yang meliputi adanya pancaindera. Aji Panunggal juga mengajarkan tata cara atau teknik untuk melakukan semedi/maladihening/mesu budi/yoga sebagai upaya jiwa dalam rangka menundukkan raga.
4. Karana-Jati; ajaran tentang hakikat dan asal muasalnya manusia, ajaran ini sebagai cikal bakal ilmu “sangkan-paraning dumadi”. Siapakah sejatinya manusia. Hendaknya apa yang dilakukan manusia. Akan kemana kah selanjutnya manusia.
5. Purba Jati; ajaran tentang hakikat Dzat, ke-Ada-an Dzat yang sejati. Menjawab pertanyaan,”Tuhan ada di mana ? Dan membeberkan ilmu tentang sejatinya Tuhan. Seyogyanya Purba Jati dibaca oleh pembaca yang budiman dan bijaksana, dan bagi yang telah mencapai tingkatan pemahaman tasawuf agar supaya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.
6. Saloka-Jati; ilmu tentang perlambang, sanepan, kiasan yang merupakan pengejawantahan dari bahasa alam, yang tidak lain adalah bahasa Tuhan. Supaya manusia menjadi lebih bijaksana dan mampu nggayuh kawicaksananing Gusti; mampu membaca dan memaknai bahasa (kehendak) Tuhan. Sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan.
7. Sasmita-Jati; ilmu yang mengajarkan ketajaman batin manusia supaya mengetahui kapan “datangnya janji” akan tiba. Semua manusia akan mati, tetapi tak pernah tahu kapan akan meninggal dunia. Sasmita Jati mengungkap tanda-tanda sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda yang dapat dibaca apabila kurang tiga tahun hingga sehari seseorang akan meninggal dunia. Dan bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menyongsong hari kematiannya.
8. Wasana-Jati; ilmu yang menggambarkan apa yang terjadi pada waktu detik-detik terakhir seseorang meninggal dunia, dan apa yang terjadi dengan sukma atau ruh sesudah seseorang itu meninggal dunia.
MENGUNGKAP MISTERI TUHAN
WIRID PURBA JATI
Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi, menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek Dzat secara datail dan gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai Dzat yang amat sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan Dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu dan akan menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman. Hal itu wajar karena menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit. Maka atas alasan tersebut terdapat asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keadaan Tuhan denga cara apapun pasti salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama “bumi” dan ajaran atau kearifan-kearifan lokal yang berusaha menggambarkan keadaan Tuhan dengan cara arif dan hati-hati. Manusia berusaha menjelaskan secara logic dalam asas hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar, akal budi, dan hati nurani yang dimiliki manusia. Ditempuh melalui “laku” spiritual dan olah batin yang mendalam dan berat serta mengerahkan kemampuan akal budi (mesu budi).
PIJAKAN SASMITA
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang Langgeng Ora Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng lazimnya disebut Qadim, yang azali abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya “sesuatu tanpa nama” yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha kuasa artinya, Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan, bukan banci. Dzat dilambangkan sebagai “kombang anganjap ing tawang” kumbang hinggap di awang-awang, hakekatnya tersebutlah “latekyun”, oleh karena keadaan yang belum nyata. Artinya, hidup adalah sifat dari Hyang Mahasuci, menyusup, meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang terlewatkan oleh Dzat, baik “di luar” maupun “di dalam”. Dzat menyusup, meliputi dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpamaan keber-ada-an Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, ialah yang terpancar di dalam hidup kita pribadi.
Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya jagad raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Mahasuci dalam mewujud makhluk ciptaanNya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut;
- Dzat; Hyang Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah; sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan seluruh isinya.
“Nalikå awang-awang – uwúng-uwung, dèrèng wóntên punåpå punåpå, Hyang Måhå Kawåså manggèn wóntên satêngahíng kawóntênan, nyíptå dumadósíng pasthi. Wóntên swantên ambêngúng ngêbêgi jagad kadós swantêníng gênthå kêkêlêng. Ingriku wóntên cahyå pacihang gumêbyar mungsêr bundêr kadós antigå (tigan) gumandhúl tanpå canthèlan. Énggal dipún astå déníng Hyang Måhå Kawåså, dipún pujå : lalu meretaslah Kayyun.
- Kayu/kayyun; yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati, memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena “disinari” oleh Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang, yakni bunga yang tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya disebut takyun awal, kenyataan awal muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.
- Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang hidup, karena “disinari” kekuasaan atma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah kepada Dzat yang Mahasuci. Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyataan mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakekat “malaikat”.
- Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine wuluh wungwang, artinya tidak kentara; tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa.
- Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakekat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul nglayang. Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar dalam bentuk kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa; kehendak rasa. Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu.
- Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).
- Akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi; yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga diumpamakan wong lumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut jugaakyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.
- Jasad/badan/raga. Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh (mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya yakni panca indera sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai sifat, diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad. Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat sifat yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an. Sifat-sifat Dzat Tuhan dalam diri manusia masih diliputi oleh sifat kedirian manusia. Sebaliknya, pencapaian kemuliaan hidup manusia dilambangkan sebagai kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad keberadaannya sudah “di dalam”. Artinya hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Tuhan.
SISTEMATIKA MENUJU DZAT
Ketetapan jasad ditarik oleh akal
Ketetapan akal ditarik oleh nafsu
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh
Ketetapan roh ditarik oleh sir
Ketetapan sir ditarik oleh nur
Ketetapan nur ditarik oleh kayun
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat
TANGGA UNTUK “BERTEMU” TUHAN (PARANING DUMADI)
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain sisi. Manusia diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA RUMUS (kodrat) sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-masing rumus memiliki hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat” berupa kemuliaan hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan “akibat” buruk (dosa) sebagai konsekuensinya. Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita Jati).
Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat kediriannya ke dalam “gelombang” Dzat sifat Tuhan. Dalam ajaran Kejawen lazim disebut manunggaling kawula gusti; dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Kodrat manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat Tuhan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut;
“jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh kekuasaan sukma sejati, sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsaluluh melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang hidup), atma berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali abadi”.
Meraih Kasampurnan Hidup
LAKSITA JATI
Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagaireservior nafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut:
“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.
Sebagai contoh :
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
- Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
- Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
- Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
- Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
- Sukma atau ruh (Ruhullah).
No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.
KONSEP ARWAH PENASARAN
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.
JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)
Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antaraPendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa(nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :
“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”
(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).
Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
1. Mengumbar hawa nafsu.
2. Mengumbar kesenangan.
3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4. Berulah yang meresahkan.
5. Tindakan nista.
6. Perbuatan dengki hati.
7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8. Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.
PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti
PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang lain.
4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain.
5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembaranganngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7. Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.
Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;
“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)
Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;
1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.
Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;
1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros
2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.
Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;
1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo,tapa.
SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM
Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah(tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;
“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”
Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.
Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;
“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.
(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).
Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.
WIRID PURBA JATI
MENGENALI JATI DIRI
Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang
Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.
Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalambahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.
Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan
Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalamcorpus (wadah atau bungkus).
Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanismatau kejawen, dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.
Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin
Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.
Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang
Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.
Manusia Bebas Mencoblos Memilih
Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam petunjuk Tuhan tersebut.
Laku Prihatin adalah Jihad Sejati
“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatinmerupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding di medan perang dalam kalbu antara tentara Muslim nafsu positif melawan tentara Amerika nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama C4 dan TNT laku prihatin dan olah batin (wara’ dan amr ma’ruf nahi munkar).
Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)
Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang, (untuk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.
Menjadi Pribadi yang Menang
Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong danBonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.
1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakanNing, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsalalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.
4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).
Memahami Jati Diri
WIRID SALOKA JATI
Wirit Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
- Gigiring Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
- Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
- Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
- Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
- Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
- Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
- Peksi miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
- Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
- Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
- Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
- Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
- Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
- Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
- Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atautoya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
- Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
- Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
- Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di dunia, sekaligusakhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
- Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
- Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
- Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
- Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
- Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebutarsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
- Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci(nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
- Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.
- Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).
- Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
- Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
- Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
- Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
- Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
- Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungannafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).
- Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alamkasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini;
“bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadibothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak darisolah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
sumber: sabdalangit.wordpress.com